Selasa, 19 Maret 2013

Mengenal Suku Gayo



MENGENAL SUKU GAYO



 BAB I
PENDAHULUAN


A.   Latar Belakang
Kesenian merupakan produk budaya suatu bangsa, semakin tinggi nilai kesenian satu bangsa maka semakin tinggi nilai budaya yang terkandung di dalamnya. Sebagai salah satu bagian yang penting dari kebudayaan, kesenian tidak pernah lepas dari masyarakat, sebab kesenian juga merupakan salah satu sarana untuk mewujudkan segala bentuk ungkapan cipta, rasa dan karsa manusia.
Begitu banyaknya orang yang masih belum mengenal suku terutama kebudayaannya. Contohnya suku Gayo ini, masih banyak orang yang belum mengenal suku yang satu ini. Suku yang bermayoritas di Takengon dan Gayo Lues ini adalah salah satu suku yang terdapat di Aceh. Kadang suku Gayo kerap dikatakan juga salah satu dari Suku Aceh ataupun Suku Karo. Padahal, tidak sama sekali. Untuk itu, makalah ini dibuat agar dapat menambah pengetahuan masyarakat tentang sebuah suku, terutama kebudayaan suku Gayo.
Kesenian sebagai ungkapan kreativitas manusia akan tumbuh dan hidup apabila masyarakat masih tetap memelihara, memberi peluang bergerak, serta menularkan dan mengembangkan untuk kemudian menciptakan sesuatu kebudayaan baru. Sebagai produk budaya yang melambangkan masyarakatnya maka kesenian akan terus berhadapan dengan masyarakat dalam arti kesenian menawarkan interpretasi tentang kehidupan, kemudian masyarakat menyambutnya dengan berbagai cara (Yandri, 2009:158). 
Kebudayaan sering menjadi kebiasaan yang tidak boleh ditinggalkan dan dihilangkan, karena mempunyai nilai yang begitu tinggi dalam suatu kelompok. Seperti yang disebutkan bahwa dengan kebudayaan kita dapat mengetahui tingkat peradaban manusia. 
Begitu juga kebudayaan masyarakat Gayo ditemukan oleh masyarakat Gayo dan dijadikan sebagai kebudayaan. Kebudayaan Gayo timbul sejak orang Gayo bermukim di wilayah ini. Kebudayaan Gayo sangat beragam mulai dari tarian, musik, dan teater. Tarian yang terdapat pada masyarakat Gayo adalah tari Saman, tari guel, Tari bines, tari munalo Didong,Tari Sining, Tari Turun Ku Aih Aunen, Tari Resam Berume, Tuak Kukur, Melengkan dan Dabus. Unsur kebudayaan yang ada di Gayo sangat berkaitan erat dengan Al Qur`an dan Hadist. Kehidupan masyarakat Gayo yang menjadi panutan ataupun pedoman adalah Al Qur`an dan Hadist sehingga diterapkan didalam kebudayaan Gayo, adat istiadat maupun sistem pemerintahannya.
Masyarakat Gayo sangat fanatik terhadap Agama Islam, sehingga semua bersifat Theokrasi (berdasarkan ajaran Islam), baik adat, budaya dan sistem pendidikan semua berlandaskan Agama Islam. Menurut Mahmud Ibrahim (2007:19), sebelum Agama Islam masuk kedaerah Gayo, masyarakat setempat sebelumnya menganut animisme. Agama Islam masuk ke Perlak Aceh pada abad ke-8 Masehi, suku Gayo yang bermukim disana secara berangsur-angsur mulai memeluk Agama Islam.
        Suku Gayo hanya satu di permukaan bumi ini. Gayo Lues, Gayo Alas, Gayo Laut, dan Gayo Serbejadi terjadi karena perbedaan tempat tinggal saja. Kalau ada terdapat perbedaan di antara Gayo di atas, hal itu akibat pengaruh lingkungan dan geografis. Bagi saya, perbedaan itu adalah asset budaya Gayo. Jika suku Gayo bercita-cita untuk menjadi suku yang maju dan dapat menjawab tantangan zaman adalah harus bersatu. Tidak melihat perbedaan, tetapi lebih melihat persamaan, sehingga dapat membangun masa depan yang gemilang. Suku Gayo menjadi suku yang harus diperhitungkan untuk membangun bangsa dan negara Republik Indonesia yang sedang menangis ini.
Salah satu upaya adalah menggali potensi budaya, sehingga dapat menumbuhkan kepribadian yang utuh dan mapan. Dapat menjadi acuan atau pedoman dalam usaha menyusun langkah dan strategi untuk menghadapi masa depan yang cerah. Sangat sesuai dengan semangat otonomi daerah (suatu perubahan sistem dari sentralisasi menjadi desentralisasi).
Untuk memenuhi harapan di atas, di samping harapan panitia kongres ini, saya mencoba untuk menyusun sebuah makalah yang sangat sederhana tentang Orientasi dan sejarah Gayo secara ringkas. Hal ini sangat menarik karena kita selalu menghadapi persoalan dan tantangan tentang eksistenssi kepribadian dan martabat suku Gayo di tanah tumpah darah sendiri. Makalah yang sangat sederhana ini, dapat kiranya menjadi bahan diskusi di dalam kongres ini. Semoga keberadaan suku Gayo dapat kita pahami secara global maupun secara substansi, terutama oleh generasi Gayo masa kini dan mendatang.


B.     Tujuan
Ø  Umum
Memperoleh gambaran mengenai suku Gayo yang bermayoritas terdapat di daerah Takengon dan Gayo Lues.

Ø  Khusus
Agar masyarakat lebih memahami dan mengetahui bagaimana, serta gambaran mengenai Suku Gayo serta Kebudayaannya.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Perihal
        Suku Gayo adalah suatu kelompok etnik yang mendiami dataran tinggi di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Suku Gayo mendiami tiga kabupaten yaitu Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Bener Meriah dan Kabupaten Gayo Lues. Suku Gayo juga mendiami beberapa desa di Kabupaten Aceh Tenggara, Kabupaten Aceh Tamiang, Kecamatan Beutong di Kabupaten Nagan Raya dan Kecamatan Serba Jadi di Kabuaten Aceh Timur.

B.    Sejarah
        Kerajaan Lingga atau Linge (dalam bahasa gayo) di tanah Gayo, menurut M. Junus Djamil dalam bukunya "Gajah Putih" yang diterbitkan oleh Lembaga Kebudayaan Atjeh pada tahun 1959, Kutaraja, mengatakan bahwa sekitar pada abad ke-11 (Penahunan ini mungkin sangat relatif karena kerajaan Lamuri telah eksis sebelum abad ini, penahunan yang lebih tepat adalah antara abad ke 2-9 M), Kerajaan Lingga didirikan oleh orang-orang Gayo pada era pemerintahan Sultan Machudum Johan Berdaulat Mahmud Syah dari Kerajaan Perlak. Informasi ini diketahui dari keterangan Raja Uyem dan anaknya Raja Ranta yaitu Raja Cik Bebesan dan dari Zainuddin yaitu dari raja-raja Kejurun Bukit yang kedua-duanya pernah berkuasa sebagai raja di era kolonial Belanda. Raja Lingga I, disebutkan mempunyai 4 orang anak. Yang tertua seorang wanita bernama Empu Beru atau Datu Beru, yang lain Sebayak Lingga (Ali Syah), Meurah Johan (Djohan Syah) dan Meurah Lingga(Malamsyah).
        Sebayak Lingga kemudian merantau ke tanah Karo dan membuka negeri di sana dia dikenal dengan Raja Lingga Sibayak. Meurah Johan mengembara ke Aceh Besar dan mendirikan kerajaannya yang bernama Lamkrak atau Lam Oeii atau yang dikenal dengan Lamoeri dan Lamuri atau Kesultanan Lamuri atau Lambri. Ini berarti kesultanan Lamuri di atas didirikan oleh Meurah Johan sedangkan Meurah Lingga tinggal di Linge, Gayo, yang selanjutnya menjadi raja Linge turun termurun. Meurah Silu bermigrasi ke daerah Pasai dan menjadi pegawai Kesultanan Daya di Pasai. Kesultanan Daya merupakan kesultanan syiah yang dipimpin orang-orang Persia dan Arab. Meurah Mege sendiri dikuburkan di Wihni Rayang di Lereng Keramil Paluh di daerah Linge, Aceh Tengah. Sampai sekarang masih terpelihara dan dihormati oleh penduduk.
        Penyebab migrasi tidak diketahui. Akan tetapi menurut riwayat dikisahkan bahwa Raja Lingga lebih menyayangi bungsunya Meurah Mege. Sehingga membuat anak-anaknya yang lain lebih memilih untuk mengembara.


C.    Adat Istiadat

       Setiap daerah yang ada di Indonesia mempunyai sistem adat, begitu juga di dataran tinggi Gayo mempunyai adat sesuai dengan kepercayaan yang di anutnya. Menurut Mahmud Ibrahim (2007:5) pada sekitar tahun 1115 M, raja (reje) Islam kerajaan Lingga yang oleh penduduk Negeri Lingga (Negeri Lingge) disebut “petu Merhum Mahkota Alam” untuk pertama kalinya merumuskan norma adat bersama para ulama dan pemimpin masyarakat lainnya. Isi rumusan adat yang disusun di istana raja Lingga (reje Lingge) Umah Adat Pitu Ruang Nenggeri Lingge oleh raja Petu Merhum Mahkota Alam. Semua adat terdiri dari 45 pasal berbahasa Gayo dan tulisan Jawi. Semua dibukukan sebagai lembaran aturan adat istiadat dari zaman dahulu hingga sekarang tetap dilakasanakan pasal demi pasal dalam semua keadaan mengenai keadatan.
        Empat puluh lima pasal adat negeri Lingga (edet Nenggeri Lingge), munatur murip sibueten sarak opat, kin penguet ni akhlak menegah buet, menyoki belide remet, melumpeti junger, mubantah hakim, menumpang bele,, munyugang edet i engon ku bekase (tata krama dalam sistem bermasyarakat, untuk menjaga ahlakulkarimah, tidak membuat kekerasan atau pemerasan, tidak mengganggu masyarakat, tidak melawan hakim untuk menutupi kesalahan, supaya adat berjalan sesuai dengan harapan (Mahmud Ibrahim, 2007:6).
        Kata kiasan adat berbicara tidak mutlak-mutlakan, berjalan memakai tongkat, hakikat sesuatu disimpan dengan baik, syariat dilaksanakan dengan tepat, karena hukum Islam mengenal mana yang hak mana yang batil sementara adat membedakannya. Sesuatu yang wajib harus dilaksanakan pada tempat dan waktunya, sebaliknya yang bukan wajib dapat dilakukan kapan dan dimana saja.

Adat istiadat masyarakat Gayo semua unsur, mulai dari hal yang terkecil sampai yang terbesar mempunyai aturan yang harus dipatuhi dan dijalankan. Menurut Hakim, (1998:12-13) fungsi dari adat dan makna adat adalah:

1.  Adat berasal dari bahasa arab, dengan pengertian melakukan berbagai kebiasan-kebiasaan. Adanya adat dikarenakan manusia hidup berkelompok-kelompok, lalu membuat berbagai keputusan disebut peraturan, untuk mengatasi kepentingan mereka dan dipandang sebagai undang-undang tanpa tertulis.
2. Adat Gayo bernilai spiritual dan beriorientasi kepada ahlakulkarimah, membentuk pergaulan yang berlandaskan agama, adat melaksanakan amar makruf nahi mungkar (salah bertegah benar berpapah). Adat Gayo, jelas menunjang agama (pengertian agama). Perlu disimak adat adalah habluminannas.
3.  Adat adalah etos (pandangan hidup yang khas suatu golongan sosial) masyarakat, terikat dengan : “murip ikanung edet, mate ikanung bumi, murip benar matee suci” (hidup selalu dikandung adat, mati dikandung bumi / tanah, hidup harus benar, mati harus suci).
4.  Adat adalah aturan ciri khas dari berbagi suku, tata kelakuan dan kebiasaan. Bagi suku Gayo adat itu: “nge mucap ku atu mulabang ke papan” (sudah melembaga).
5. Adat adalah aturan yang berlaku di daerah tritorial masing-masing, berfungsi laksana undang-undang.
6.  Adat adalah pegangan hidup serta pedoman dalam melaksanakan sesuatu perbuatan.
7.  Adat Istiadat adalah kata kelakuan yang kekal dan turun temurun dari generasi ke generasi
     sebagai warisan sehingga kuat integrasinya dengan pola-pola perilaku masyarakat.

Seperti kata pepatah, bahwa agama dengan adat seperti zat dengan sifat. Dalam bahasa
berbunyi sebagai berikut:

“Edet mugenal hukum mubeza
Kuet edet muperala agama
Rengang edet benasa nama
Edet menukum musifet ujud
Ukum munukum musifet kalam
Edet sifetni resam, resam itinyo edet
Edet atan astana, hukum atan agama
Dewe hadis ulaken ku firman
Dewe edet ulaken ku empuwe
Edet turah berujud
Fiil turah berupe
Semi turah bertubuh”
“(Adat mencari hukum dijadikan neraca
Bila kuat adat terpeiharalah agama agama
Renggang adat rusaklah nama
Adat menghukum bersifat wujud
hukum menghukum bersifat pasti
Adat sifatnya resam, resam ditinjau adat
Sumber adat dari istana, hukum dalam agama
Berselisih pendapat tentang hadist kembalikan ke firman
Berselisih pendapat tentang adat kembalikan kepada empunya (yang membuatnya Reje, petue, ulama dan masyarakat)
Adat harus dibuktikan
Fiil harus mempunyai rupa
Semi harus bertubuh (Hakim, (1998:14)
Dari pendapat diatas dapat dijelaskan bahwa adat didalam masyarakat Gayo sangat kuat dan harus direalisasikan, jika suatu adat menjadi keliru maka akan dikembalikan kepada Al Qur`an dan yang membuat adat tersebut.

6. Sistem kemasyarakatan
        Sistem yang ada didataran tinggi Gayo dahulu dikenal dengan sistem kerajaan, yang dikenal dengan dinasti Lingga. Sistem pemerintahan kerajaan / tradisional berupa unsur kepemimpinan yang disebut sarak opat (empat unsur dalam satu ikatan terpadu), terdiri dari: raja (Reje),Orang yang dituakan (Petue), Imam (Imem), dan rakyat (Rayat). Mahmud Ibrahim, (2007:63) menyatakan adapun sarak opat tersebut adalah:
1. Raja (Reje:kepala pemerintahan), musuket sifet (berfungsi memelihara keadilan di kalangan rakyatnya).
2. Ulama (Imem), muperlu sunet (berkewajiban membimbing dan melaksanakan ajaran Agama Islam terutama yang fardhu dan sunat yang baik).
3. Petue (orang yang dituakan dan dipandang berilmu), musidik sasat (meneliti dan mengevaluasi keadaan rakyat / masyarakat).
4. rakyat (Rakyat), genap mufakat (bermusyawarah dan mufakat bagi kepentingan negeri atau seluruh masyarakat).

        Reje (raja) dan Imem (ulama) memiliki fungsi dan berperan sangat penting dalam pemerintahan, karena raja (Reje) melaksanakan prinsip : edet mu nukum bersifet wujud (adat menjatuhkan hukuman karena ada bukti yang jelas). Imem (ulama) melaksanakan prinsip : ukum mu nukum bersifet kalam (hukum Islam menetapkan hukum berdasarkan firman Allah dan Sunnah Rasulullah).
        Keduanya harus serasi dan terpadu dalam rangka mewujudkan : Agama iberet empus, edet ibarat peger (Agama seperti kebun / tanaman, edet seperti pagar tanaman. Menurut Melalatoa dalam Zainal Abidin, (2002:27) masyarakat Gayo sebagai mana masyarakat Aceh lainnya adalah masyarakat yang tergolong taat menjalankan ajaran Agama Islam. Hal ini karena adanya pemahaman ditengah-tengah masyarakat bahwa sistem budaya mereka berasal dari dua sumber, Pertama sumber leluhur yang bermuatan pengetahuan, keyakinan nilai, norma-norma yang kesemuanya dinyatakan edet (adat) serta kebiasaan yang tidak mengikat yang disebut resam, Kedua sumber Agama Islam berupa Akidah, sistem keyakinan, nilai-nilai dan kiadah-kaidah agama disebut dengan hukum.

Di samping itu suku Gayo juga mengenal prinsip-prinsip adat yang mereka anut. Hal ini untuk meluruskan prinsip-prinsip adat yang ada, Zainal Abidin (2002:28) menyatakan bahwa prinsip-prinsip adat tersebut meliputi empat hal yaitu:
1. Dunie terpancang adalah harga diri yang menyangkut hak atas wilayah
2. Nahma teraku adalah harga diri yang menyangkut kedudukan yang sah
3. Bela mutan adalah harga diri yang terusik karena ada anggota kelompoknya yang
    disakiti atau di ganggu
4. Malu tertawan adalah harga diri yang terusik karena kaum wanita atau kelompoknya
    diganggu atau difitnah orang lain.

         Masyarakat Gayo hidup dalam komuniti kecil yang disebut kampong. Setiap kampong dikepalai oleh seorang gecik. Kumpulan beberapa kampung disebut kemukiman, yang dipimpin oleh mukim.). Pada masa sekarang sistem pemerintahan mengikuti sistem pemerintahan nasional. Yang membedakan dengan daerah lain yang ada di Indonesia yaitu terdapat beberapa buah mukim. mukim merupakan bagian dari kecamatan, dengan unsur-unsur kepemimpinan terdiri atas: gecik, wakil gecik, imem, dan cerdik pandai yang mewakili rakyat. Pada pemerintahan yang ada di dataran tinggi Gayo tidak mengenal dengan sistem RT / RW yang ada hanya satu bagian yang disebut sebagai Dusun, dipimpin kepala Dusun dan perangkatnya.

D. Bahasa Gayo 
        Salah satu dampak dari pesebaran yang terjadi yaitu adanya variasi dialek pada bahasa Gayo. Meski demikian, perbedaan tersebut tidak memengaruhi penutur bahasa Gayo dalam berkomunikasi satu sama lain. Pengaruh dari luar yaitu bahasa di luar bahasa Gayo turut memengaruhi variasi dialek tersebut. Perbedaan tersebut tidak hanya pada aspek fonologi tetapi juga pada kosakata yang digunakan. Namun, untuk yang kedua (kosa kata) tidak menunjukan pengaruh yang begitu besar. Sebagai contoh, bahasa Gayo yang ada di Lokop, sedikit berbeda dengan bahasa Gayo yang ada di Gayo Kalul, Gayo Lut, Linge dan Gayo Lues. Hal tersebut disebabkan karena pengaruh bahasa Aceh yang lebih dominan di Aceh Timur. Begitu juga halnya dengan Gayo Kalul, di Aceh Tamiang, sedikit banyak terdapat pengaruh Melayu karena lebih dekat ke Sumatera Utara. Kemudian, Gayo Lues lebih dipengaruhi oleh bahasa Alas dan bahasa Karo karena interaksi yang lebih banyak dengan kedua suku tersebut lebih-lebih komunitas Gayo yang ada di kabupaten Aceh Tenggara.
        Dalam hal dialek yang ada pada suku Gayo, M.J. Melalatoa membagi dialek Gayo Lut terdiri dari sub-dialek Gayo Lut dan Deret; sedangkan Bukit dan Cik merupakan sub-subdialek. Demikian pula dengan dialek Gayo Lues terdiri dari sub-dialek Gayo Lues dan Serbejadi. Sub-dialek Serbejadi sendiri meliputi sub-sub dialek Serbejadi dan Lukup (1981:53). Sementara Baihaqi Ak., dkk menyebut jumlah dialek bahasa Gayo sesuai dengan persebaran suku Gayo tadi (Gayo Lut, Deret, Gayo Lues, Lokop/Serbejadi dan Kalul). Namun demikian, dialek Gayo Lues, Gayo Lut, Gayo Lukup/Serbejadi dan Gayo Deret dapat dikatakan sama atau amat berdekatan. Di Gayo Lut sendiri terdapat dua dialek yang disana dinamakan dialek Bukit dan Cik (1981:1).
       Dalam bahasa Gayo, kita juga mengenal tingkat kesopanan yang ditunjukan dengan tutur (memanggil seseorang) dengan panggilan yang berbeda. Hal tersebut menunjukan tata krama, sopan santun, rasa hormat, penghargaan dan kasih sayang. Kepada orang tua, misalnya, akan memiliki tutur yang berbeda dengan anak-anak. Dapat kita contohkan, pemakaian ko dan kam, yang keduanya berarti kamu (anda) Panggilan ko biasa digunakan dari orang tua dan/atau lebih tua kepada yang lebih muda, sebaliknya, terasa janggal atau tidak sopan bila yang muda menggunakan kata ini kepada orang yang lebih tua. Kata kam sendiri lebih sopan dibandingkan dengan ko. Selain itu, kam ini menunjukan makna jamak dan panggilan intim antara suami istri. Tambahan pula, bahasa Gayo Lut dinilai lebih sopan dan halus dibandingkan dengan bahasa Gayo lainnya.
Contoh percakapan dalam bahasa Gayo (Perkenalan)
Sa Geral ni Kam = Sapa nama Kamu
Geralku Sejuk = Nama saya Sejuk
sana këber? = Apa kabar?
Këber jeroh = Kabar baik
Nge ke mangan? = Sudah makan?
Gëre ilen = Belum


E.   Sistem Pemerintahan 
        Masyarakat Gayo hidup dalam komuniti kecil yang disebut kampong. Setiap kampong dikepalai oleh seorang gecik. Kumpulan beberapa kampung disebut kemukiman, yang dipimpin oleh mukim. Sistem pemerintahan tradisional berupa unsur kepemimpinan yang disebut sarak opat, terdiri dari:

Ø  Reje = Yang Mulia / Raja
Ø  Petue = Totem / Tetua
Ø  Imem = Imam / Ahli Agama
Ø  Rayat = Rakyat / Masyarakat biasa

      Pada masa sekarang beberapa buah kemukiman merupakan bagian dari kecamatan, dengan unsur-unsur kepemimpinan terdiri atas: gecik, wakil gecik, imem, dan cerdik pandai yang mewakili rakyat.
        Sebuah kampoeng biasanya dihuni oleh beberapa kelompok klen (belah). Anggota-anggota suatu belah merasa berasal dari satu nenek moyang, masih saling mengenal, dan mengembangkan hubungan tetap dalam berbagai upacara adat. Garis keturunan ditarik berdasarkan prinsip patrilineal. Sistem perkawinan yang berlaku berdasarkan tradisi adalah eksogami belah, dengan adat menetap sesudah nikah yang patrilokal (juelen) atau matrilokal (angkap).
        Kelompok kekerabatan terkecil disebut saraine (keluarga inti). Kesatuan beberapa keluarga inti disebut sara dapur. Pada masa lalu beberapa sara dapur tinggal bersama dalam sebuah rumah panjang, sehingga disebut sara umah. Beberapa buah rumah panjang bergabung ke dalam satu belah (klen). Pada masa sekarang banyak keluarga inti yang mendiami rumah sendiri. Pada masa lalu orang Gayo terutama mengembangkan matapencaharian bertani di sawah dan beternak, dengan adat istiadat matapencaharian yang rumit. Selain itu ada penduduk yang berkebun, menangkap ikan, dan meramu hasil hutan. Mereka juga mengembangkan kerajinan membuat keramik, menganyam, dan menenun. Kini matapencaharian yang dominan adalah berkebun, terutama tanaman kopi. Kerajinan membuat keramik dan anyaman pernah terancam punah, namun dengan dijadikannya daerah ini sebagai salah satu daerah tujuan wisata di Aceh.


F.   Mata Pencaharian 
        Mata pencarian utama adalah bertani dan berkebun dengan hasil utamanya kopi. Mereka juga mengembangkan kerajinan membuat keramik, menganyam, dan menenun. Kerajinan lain yang cukup mendapat perhatian adalah kerajinan membuat sulaman kerawang Gayo, dengan motif yang khas.
                                                 
Munangin - Seorang wanita Gayo sedang menganginkan padi di persawahan Kampung Genuren, Kecamatan Bintang, Aceh Tengah. Membersihkan padi dengan tiupan angin.

                                             
Munejes - Sejumlah gadis Gayo (Beberu) Kampung Mendale, Kecamatan Kebayakan, Aceh Tengah sedang membersihkan bulir-bulir padi dari tangkainya.



G.   Seni Budaya 
         Suatu unsur budaya yang tidak pernah lesu di kalangan masyarakat Gayo adalah kesenian, yang hampir tidak pernah mengalami kemandekan bahkan cenderung berkembang. Bentuk kesenian Gayo yang terkenal, antara lain tari saman dan seni bertutur yang disebut didong. Selain untuk hiburan dan rekreasi, bentuk-bentuk kesenian ini mempunyai fungsi ritual, pendidikan, penerangan, sekaligus sebagai sarana untuk mempertahankan keseimbangan dan struktur sosial masyarakat. Di samping itu ada pula bentuk kesenian Seperti: Tari bines, Tari Guel, Tari munalu, sebuku (pepongoten), guru didong, dan melengkan (seni berpidato berdasarkan adat), yang juga tidak terlupakan dari masa ke masa, Karena Orang Gayo kaya akan seni budaya.
Dalam seluruh segi kehidupan, orang Gayo memiliki dan membudayakan sejumlah nilai budaya sebagai acuan tingkah laku untuk mencapai ketertiban, disiplin, kesetiakawanan, gotong royong, dan rajin (mutentu). Pengalaman nilai budaya ini dipacu oleh suatu nilai yang disebut bersikemelen, yaitu persaingan yang mewujudkan suatu nilai dasar mengenai harga diri (mukemel). Nilai-nilai ini diwujudkan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti dalam bidang ekonomi, kesenian, kekerabatan, dan pendidikan. Sumber dari nilai-nilai tersebut adalah agama Islam serta adat setempat yang dianut oleh seluruh masyarakat Gayo.

Berikut nama-nama kesenian yang ada di suku Gayo :
Ø  Didong
        Ada banyak kesenian adat suku Gayo, salah satunya adalah Didong, yaitu suatu kesenian yang memadukan unsur tari, vokal, dan sastra. Didong dimulai sejak zaman Reze Linge XIII. Kesenian ini diperkenalkan pertama kali oleh Abdul Kadir To’et. Ada yang berpendapat bahwa kata “didong“ mendekati pengertian kata “denang“ atau “donang” yang artinya “nyanyian sambil bekerja atau untuk menghibur hati atau bersama-sama dengan bunyi -bunyian”. Dan ada pula yang berpendapat bahwa Didong berasal dari kata “din” dan “dong”. “din” berarti agama dan “dong” berarti dakwah. Pada awalnya didong digunakan sebagai sarana bagi penyebaran agama islam melalui media syair. Para ceh didong (seniman didong) tidak semata-menyampaikan tutur kepada penonton yang dibalut dengan nilai-nilai estetika, melainkan didalamnya bertujuan agar masyarakat pendengarnya dapat memaknai hidup sesuai dengan realitas akan kehidupan para Nabi dan tokoh yang seuai dengan Islam. Dalam Didong ada nilai-nilai religius, nilai-nilai keindahan, nilai-nilai kebersamaan dan lain sebagainya. Jadi, dalam ber-didong para ceh tidak hanya dituntut untuk mampu mengenal cerita-cerita religius tetapi juga bersyair, memiliki suara yang merdu serta berprilaku baik. Kesimpulanya, seorang ceh adalah seorang seniman sejati yang memiliki kelebihandisegala aspek yang berkaitan dengan fungsinya untuk menyebarkan ajaran Islam. Didong waktu itu selalu dipentaskan pada hari-hari besar Agama Islam.

                                            

Ø  Didong Niet
Ø  Tuak Kukur
Ø  Melengkan
Ø  Dabus
Ø  Tari Bines
Ø  Tari Guel
Ø  Tari Munalo
    Gambar di bawah ini sejumlah Beberu (Gadis-Gadis) Gayo sedang menggerakkan Tarian Munalo pada suatu acara perwakinan (Mungerje) di Takengon, Kabupaten Aceh Tengah. Tari Munalo merupakan tarian khas masyarakat Gayo yang ditampilkan pada saat menerima tamu-tamu penting.

                                           


Ø  Tari Sining
Ø  Tari Turun Ku Aih Aunen
Ø  Tari Resam Berume

Ø  Tari Saman 
        Tarian ini mencerminkan budaya Gayo yang sangat kuat menganut agamanya dari gerak dan lirik lagu yang diucapkan oleh para penarinya. Jumlah tari Saman selalu ganjil dan pada awalnya tarian ini hanya dilakukan oleh laki-laki. Tari Saman dilakukan dalam formasi duduk berjejer rapat disertai gerakan dinamis tangan dan kepala dan diikuti gerakan membungkuk sesekali.  Gerakan tari Saman yang sederhana dan dinamisinilah yang digemari oleh para penikmat seni.  Masyarakat Gayo hidup dalam kelompok kecil yang disebut kampong. Sebuah kampung dihuni oleh beberapa kelompok clan berdasarkan prinsip patrilineal. Bentuk kesenian Gayo sendiri menjadi daya tarik tersendiri sehingga anda tidak hanya dapat menikmati Tari Saman tapi juga kesenian didong yang menggabungkan hiburan, rekreasi dan seni.


                                             
                                                                   Gambar: Tari Saman oleh Pria


Berikut dibawah ini beberapa kesenian musik suku Gayo :
-          Canang Gayo
Canang Gayo merupkan alat musik tradisional mirip gong yang dibunyikan dengan cara dipukul berirama. Canang Gayo dimainkan pada acara perkawinan (Mungerje) dan upacara adat lainnya. Sejumlah wanita Gayo sedang memukul Canang di Kampung Serule, Kecamatan Bintang, Kabupaten Aceh Tengah.

                                
  
-          Musik Teganing
Alat Teganing merupakan alat musik pukul berasal dari Suku Gayo, Kabupaten Aceh Tengah. Alat musik tradisional ini terbuat dari bambu dimainkan dengan cara memukul pada tali senarnya secara berirama. Bunyi-bunyian alat musik perkusi ini biasanya diringi dengan alunan suara Didong (Seni Tutur Bahasa Gayo) dan Jangen Gayo.

                                        


H. Masakan Khas
Ø  Masam Jaeng
Ø  Gutel
Ø  Lepat
Lepat memang banyak ditemui di tiap kuliner nusantara ini. Contohnya di Suku gayo, mereka mengenal Lepat. Sedangkan suku Batak Toba mengenalnya dengan nama Lapet, sedangkan di Suku Jawa dikenal dengan nama Lemet. Banyak istilah, tetap sama jenis makanannya.

Ø  Pulut Bekuah
Ø  Cecah
Ø  Pengat


I.  Acara Adat Pernikahan 
        Tradisi pembasuhan kaki pengantin pria dalam perkawinan masyarakat Gayo Tidak dilakukan oleh pengantin wanita, tetapi oleh adik perempuan pengantin wanita. Secara garis besar, kebudayaan Gayo, terdiri dari beberapa unsur yaitu kebudayaan Gayo Lues, yang berpusat disekitar Aceh Tenggara, kebudayaan Gayo Serbejadi di kawasan Aceh Timur, kebudayaan Gayo Linge dan kebudayaan Lut di Aceh Tengah. Setiap unsur kebudayaan dari tiap suku bangsa tersebut tentu saja memiliki keunikan dan kekayaan tradisi masing – masing dimana di dalamnya juga terkandung nilai – nilai luhur untuk kemuliaan hidup. Tak terkecuali kebudayaan masyarakat Gayo yang berada di sekitar kawasan Takengon Aceh Tengah ( Gayo Lut ) saat mempersiapkan sebuah hajat besar seperti upacara perkawinan yang harus melewati beberapa tahapan adat, yang tiap tahapannya tersimpan makna yang sakral untuk kebahagiaan hidup rumah tangga pasangan pengantin. Berikut adalah beberapa tahapan singkat  prosesi upacara perkawinan masyarakat suku gayo :

·         Risik Kono ( Perkenalan Keluarga ) 
          Acara ini merupakan ajang perkenalan keluarga calon pengantin. Orang tua pengantin pria, biasanya di wakilkan oleh ibunya, akan menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan mereka untuk berbesan dengan orang tua pengantin wanita. Biasanya acara akan di mulai dengan ramah tamah serta senda gurau sebagai awal perkenalan dan barulah selanjutnya mengarah pada pembicaraan seriuz mengenai kemungkinan kedua keluarga ini bisa saling berbesan.

·         Munginte ( Meminang / Melamar ) 
          Tahapan peminangan ini tidak dilakukan oleh orang tua pengantin pria secara langsung tetapi diwakilkan oleh utusan yang disebut telangkai atau telangke. Biasanya mereka terdiri dari tiga atau lima pasang suami – istri yang masih berkerabat dekat dengan orang tua pengantin pria.
Dalam acara ini yang banyak berperan adalah kaum ibu. Mereka datang sambil membawa bawaan yang antara lain berisi beras, tempat sirih lengkap dengan isinya, sejumlah uang, jarum dan benang. Barang bawaan ini disebut Penampong ni kuyu yang bermakna sebagai tanda pengikat agar keluarga pengantin wanita tidak menerima lamaran dari pihak lain.
            Selanjutnya barang bawaan ini diserahkan dan ditinggal di rumah pengantin wanita sampai ada kepastian bahwa lamaran tersebut diterima atau tidak. Keluarga pengantin wanita diberi waktu sekitar 2-3 hari untuk memutuskan hal tersebut. Dalam waktu tersebut biasanya keluarga pengantin wanita akan mencari sebanyak mungkin tentang informasi calon pengantin pria mulai dari bagaimana pribadinya, pendidikannya, agama, tingkah laku samapi ke soal bibit, bobot dan bebetnya. Jika lamaran diterima maka barang bawaan tersebut tidak dikembalikan lagi tetapi sebaliknya jika tidak, maka Penampong kayu akan dikembalikan pada pengantin pria lagi.
          Setelah mendapat kepastian lamaran diterima selanjutnya akan dilakukan pembicaraan antara dua pihak keluarga mengenai kewajiban apa saja yang harus dipenuhi oleh keluarga masing – masing, termasuk membicarakan mengenai barang dan jumlah uang yang diminta oleh keluarga penganti wanita yang disebut sebagai acara Muno sah nemah ( Menetapkan bawaan ), Dalam pembicaraan ini keluarga pengantin pria akan diwakili oleh talangke yang harus pandai melakukan tawar menawar atau negosiasi dengan keluarga pengantin wanita. Sementara untuk mahar yang menentuakan adalah calon mempelai wanita sendiri dan mahar yang diminta tidak boleh ditawar lagi.

Turun Caram ( Mengantar Uang ) 
        Acara mengantar uang ini biasa dilakukan pada saat matahari mulai naik antara pukul 09.00 – 12.00 dengan harapan agar nantinya kehidupan rumah tangga pasangan pengantin ini, termasuk rezekinya akan selamanya bersinar.

Segenap dan Begenap ( Musyawarah dan Keluarga ) 
     Dalam acara ini akan dilakukan pembagian tugas saat acara pernikahan berlangsung. Yang mendapat tugas melakukan berbagai persiapan pesta perkawinan adalah para kerabat serta tetangga dekat. Acara akan berlangsung pada malam hari.
        Pada malam begenap acara akan dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok orang tua yang akan membicarakan mengenai tata cara serah terima calon pengantin kepada Imam ( Pemuka Agama ) sementara kelompok kedua yaitu para muda – mudi yang berkelompok membuat kue onde – onde untuk disantap bersama – sama. Setelah itu datanglah utusan dari kelompok orang tua ke kelompok anak muda tersebut sambil membawa batil ( cerana ) lalu mereka makan sirih bersama sebagai tanda permintaan orang tua pengantin wanita agar muda mudi itu rela melepas salah satu teman mereka untuk menikah.


Beguru ( Pemberian Nasihat ) 
      Acara ini didiadakan sesudah acara malam begenap yaitu pada pagi hari sesudah salat subuh. Beguru artinya belajar, dimana calon pengantin akan diberi berbagai nasehat dan petunjuk tentang bagaimana nantinya mereka bersikap dan berprilaku dalam membina rumah tangga. Acara beguru di rumah calon mempelai wanita ini biasanya akan diiringi juga dengan acara bersebuku ( meretap ) yaitu pengantin wanita melakukan sungkeman kapada kedua orang tuanya untuk memohaon restu dan doa.

Jege Uce ( Berjaga – jaga ) 
       Acara ini dilaksanakan menjelang hari pernikahan. Disini para kerabat dan tetangga dekat akan berjaga – jaga sepanjang malam dengan melakukan berbagai kegiatan adat seperti acara guru didong ( berbalas pantun ) serta tari tarian. Pada malam itu calon pengantin wanita akan diberi inai oleh pihak ralik ( keluarga pengantin wanita ).

Belulut dan Bekune ( Mandi dan Kerikan ) 
      Dahi, pipi dan tengkuk calon pengantin wanita akan dikerik oleh juru rias atau wakil keluarga ibunya yang paling dekat setelah sebelumnya dilakukan acara mandi bersama di kediaman masing – masing yang disebuat acara belulut. Bekas bulu – bulu halus kerikan tadi selanjutnya akan ditaruh dalam sebuah wadah berisi air bersih dan dicampurkan dengan irisan jeruk purut untuk ditanam. Dipercayai nantinya rambut pengantin akan tumbuh subur dan lebat.

Munalo ( Menjemput Pengantin Pria ) 
      Pada hari dan tempat yang telah disepakati rombongan pengantin wanita yang dipimpin oleh telangkai, selanjutnya disebut sebagai pihak beru, sambil menabuh canang yang dilakukan oleh para gadis bersiap menunggu kedatangan rombongan penantin pria yang disebut pihak bei. Sementara itu pengantin wanita di rumahnya telah didandani dan menanti dalam kamar pengantin. Canang akan semakin keras ditabuh dan terdengar bersahutan ketika pihak bei sudah mulai kelihatan dari kejauhan.
       Saat pihak bei telah tiba, tabuhan canang dihentikan dan pihak beru akan membuka percakapan sebagai ucapan selamat datang dan permohonan maaf jika terdapat kekurangan dalam acara penyambutan tersebut. Setelah itu dilakukan tarian guel dan sining serta saling berpantun. Disini pengantin pria akan diajak ikut menari bersama. Setelah itu calon pengantin pria diarak beramai ramai menuju kediaman pengantin wanita.

Mah Bei ( Mengarak Pengantin Pria ) 
       Sebelum rombongan pengantin pria sampai ke rumah pengantin wanita, mereka akan terlebih dahulu berhenti di rumah persinggahan yang disebut Umah selangan selama 30 – 60 menit. Ditempat ini rombongan akan menanti datangnya kiriman makanan yang dibawa oleh utusan pihak beru. Bila kiriman itu dianggap berkenan maka rombongan akan melanjutkan perjalanan menuju rumah pengantin wanita, setelah mendengar kabar bahwa kelurga pengantin wanita telah siap menerima kedatangan. Sebaliknya bla tidak berkenan maka acara bisa tertunda bahkan batal. Dalam perjalanan ini, pengantin pria diapit telangkai yang bisanya terdirri dari dua orang laki – laki yang sudah menikah. Pada acara ini orang tua mempelai pria boleh tidak mendampingi karena tugas tersebut telah diwakilkan.
      Setibanya rombongan bei di rumah pengantin wanita, tiga orang ibu akan langsung datang menyambut dan saling bertukar batil tempat sirih lalu diadakan acara basuh kidding ( cuci kaki ) di depan pintu masuk. Uniknya yang melakukan acara basuh kidding ini adalah adik perempuan pengantin wanita. Jika pengantin wanita tidak memiliki adik perempuan maka tugas ini bisa digantikan oleh anak pakciknya. Setelah itu sebagai tanda terima kasih, pengantin pria akan memberikan sejumlah uang kepada adik pengantin wanita tersebut. 
Selanjutnya pengantin pria akan melakukan acara tepung tawar yang dilakukan oleh keluarga pengantin wanita. Sambil dibimbing masuk rumah, pengantin pria akan diserahkan oleh keluarganya dan didudukkan berhadapan dengan ayah pengantin wanita untuk acara akad nikah yang disebut acara Rempele ( Penyerahan ).
        Sebelum akad nikah dimulai telah disiapkan satu gelas air putih, satu wadah kosong dan sepiring ketan kunung untuk melakukan tata acara adat. Selesai akad pengantin pria memberikan S apBatil Mangas kepada mertua laki – lakinya. Selama akad berlangsung pengantn wanita yang telah didandani tetap tinggal di dalam kamar sambil menunggu dipertemukan dengan suaminya. Acara inilah yang disebut kamar dalem.

Munenes ( Ngunduh Mantu ) 
        Acara ini sebagai simbol perpisahan antara pengantin wanita dengan orang tuanya karena telah bersuami dan akan berpisah tempat tnggal, termasuk juga sebagai acara perpisahan di masa lajang ke kehidupan berkeluarga. Pengantin wanita akan diantar ke rumah pengantin pria sambil membawa barang – barangnya dari peralatan rumah tangga sampai bekal memulai hidup baru. Setelah itu diadakan acara makan bersama. Biasanya setelah tujuh hari pengantin wanita berada di rumah pengantin pria, orang tua pengantin pria akan dating ke rumah besannya sambil membawa nasi beserta lauk pauk. Acara yang disebut Mah Kero Opat Ingi ini bertujuan untuk lebih saling mengenal antar dua keluarga yang sudah bebesan.
 

J. Busana Adat 
    Di masa silam orang Gayo pernah mengenal bahasa busana dari kulit kayu nanit, hasil tenunan sendiri dari bahan kapas, dan bahan kain yang didatangkan dari luar daerah Gayo. Periode pemakaian nanit sudah dari ingatan orang sekarang, yang konon dipakai pada masa-masa sulit di zaman kolonial Belanda atau masa sebelumnya. Kegiatan  bertenun pun sudah lama tak tampak dalam kehidupan mereka, kecuali pada masa pendudukan balatentara Jepang dimana kehidupan serba sulit. Busana yang diperkenalkan disini dibatasi pada busana sub klompok Gayo Lut yang berdiam di Kabupaten Aceh Tengah. Uraian tentang busana atau pakaian ini termasuk unsur perhiasan atau assesorisnya yang dikenakan dalam rangka upacara perkawinan, karena diluar diluar upacara itu tidak tampak. Adanya ciri busana Khas Gayo, lebi-lebih pada zaman masa belakangan ini.
    Unsur-unsur pakaian pengantin wanita adalah baju, kain sarung pawak, dan ikat pinggang ketawak. Unsur-unsur perhiasan adalah mahkota sunting, sanggul sempol gampang, cemara, lelayang yang menggantung dibawah sanggul, ilung-ilung, anting-anting subang gener clan subang ilang, yang semuanya itu ada di seputar kepala. Dibagian leher tergantung kalung tangang terbuat dari perak atau uang perak tangang ringgit dan tangang birah-mani, clan belgong yang merupakan untaian manik-manik. kedua lengan sampai ujung jari dihiasi dengan bermacam-macam gelang seperti ikel, gelang iok, gelang puntu, gelang berapit, gelang bulet, gelang beramur, topong, dan beberapa macam cincin sensim belah keramil, sensim genta, sensim patah paku, sensim belilit, sensim keselan, sensim kui. Bagian pinggang selain ikat pinggang dari kain katawak, masih ada tali pingang berupa rantai genit rante, clan dibagian pergelangan kaki ada gelang kaki. Unsur busana lain yang sangat penting adalah upuh ulen-ulen selendang dengan ukuran relatif lebar.

Berikut beberapa Pakaian dan Kerajinan dengan Motif khas suku Gayo :

       ( Gambar: Kiri Atas : Kain Adat, Kanan Atas: Pakaian Pengantin wanita, Kiri Bawah : Kerajinan Tas Wanita )

K.  Rumah Adat 
        Rumah tua Umah Edet Pitu Ruang (Rumah Adat Tujuh Ruang) bukti sejarah orang Gayo tersebut letaknya di sebuah kampung pinggiran Danau Lut Tawar  tepatnya di Kampung Toweren, Kecamatan Laut Tawar Aceh Tengah, rumah itu adalah bukti sejarah yang masih ada di Dataran Tinggi Gayo yang benar-benar asli peninggalan tidak seperti rumah adat di Linge dan Mess Pitu Ruang di Kampung Kemili Takengon yang hanya copyan dari bentuk aslinya.
Luas Umah Edet Pitu Ruang itu, panjangnya 9 meter dengan lebar 12 meter. Berbentuk rumah panggung dengan lima anak tangga, menghadap utara. Sementara di dalamnya terdapat empat buah kamar. Selain empat kamar, ada dua lepo atau ruang bebas di arah timur dan barat. Di dinding luar rumah dihiasi atau dipercantik dengan ukiran-ukiran khas masyarakat suku Gayo yang disebut Kerawang, awalnya adalah ukiran pada rumah Adat Gayo "Pitu Ruang", yang kemudian motifnyadiadopsi kedalam barang-barang kerajinan khas Gayo. Bordir Kerawang memiliki corak yang khas, dimana mempunyai makna filosofi yang dalam dari setiap ukiran dan bentuknya.
Bordir Kerawang Gayo ini sering dipakai untuk hiasan dinding, alas meja, motif pakaian , tas dan lain sebagainya. Motif Kerawang Gayo tidak hanya diminati masyarakat lokal saja, namun daerah Aceh lainnya juga banyak mencari motif ini.

Berikut dibawah ini adalah gambar rumah adat suku Gayo :

                       
                                                 (Gambar: 2 Rumah Umah Edet Pitu Ruang)



L. Ilmu Pengetahuan 
        Sistem dalam masyakat Gayo dahulu mengenal beberapa teknologi yang manual, seperti dalam bertani, masyarakat mengunakan tenaga kuda, kerbau dalam mengarap sawah. Begitu juga dengan yang lain seperti kerajinan, yaitu seni arsitektur, seni ukir, sulaman, anyaman, dan seni keramik. Dahulu masyarakat selalu mengunakan peralatan tradisonal. Perkembangan zaman yang semakin canggih tidak mengurangi keinginan untuk mengikuti tantangan zaman. Yaitu masyarakat sudah beralih mengunakan alat yang lebih modern untuk mengembangkan penghidupan dan kesejahteraan. Para petani yang dahulu mengunakan tenaga kuda / kerbau beralih mengunakan mesin traktor untuk mengarap sawah, para pengrajin dari alat manual beralih ke alat modern. 


BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan 
        Bahwa Banyak hal tentang suku Gayo yang perlu kita pelajari semua. Dari bahasa, rumah adat, kesenian, tarian dan lain sebagainya. Masyarakat tidak pernah lepas dari lingkungan budaya, karena masyarakat Gayo selalu menjunjung tinggi nilai-nilai budayanya. Sistem dalam masyarakat Gayo mengenal sistem pemerintahan, adat istiadat, teknologi, budaya, bahasa dan religiusitas. Semua itu merupakan sistem yang ada di dataran tinggi Gayo. Pemerintahan masyarakat Gayo zaman dahulu dikenal dengan Sarak Opat (empat unsur dalam satu ikatan terpadu). Adapaun perangkatnya yaitu; raja, imam, petue dan masyarakat. Lembaga ini yang selalu mengurus dan membina masyarakat demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat dataran tinggi Gayo. 
        Peralihan dari sistem kerajaan merupakan sebuah revolusi yang terjadi di dataran tinggi Gayo, walaupun perubahan yang terjadi tetapi nilai adat dan nilai budaya tidak pernah lepas dari kehidupan masyarakat dataran tinggi Gayo. Nilai adat, budaya selalu menjadi pedoman dalam kehidupan sehari-hari


B. Saran
        Saran Anda untuk Saya sangat membangun diri Saya pribadi untuk merangkum informasi – informasi atau ilmu dibidang apapun secara lebih rapih susunanya hingga mudah di mengerti dan lain sebagainya. Semoga rangkuman ini dapat bermanfaat bagi Anda yang sudah membacanya. Saya ucapkan, Terima kasih


Daftar Pustaka
Internet :



Books :
Yandri. 2009. Pengaruh Budaya Global dalam Lokalitas Budaya Tradisi. Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Sebuah makalah.
Ibrahim, Mahmud.2007. Mujahid Dataran Tinggi Gayo. Takengon: Yayasan Maqamamahmuda Takengon.
Abidin, Zainal. 2002. Makna Simbolik Warna dan Motif Kerawang Gayo pada Pakaian Adat Masyarakat Gayo. Yogyakarta. Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta.
Hakim, AR. 1998. Hakikat nilai-nilai budaya Gayo. Takengon : Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Tengah

6 komentar:

Unknown mengatakan...

Thanks buat infonya , sangat membantu sekali !!!

www.agicoys.blogspot.com

Unknown mengatakan...

Iya sama-sama ..

Unknown mengatakan...

brijin ya sudere

Unknown mengatakan...

maaf saya mau berkomentar saya rasa gambar tari saman di atas salah besar, karena di gayo tidak pernah ada yg namanya tari saman perempuan bahkan ini haram hukumnya jika seorang perempuan memukul dadanya di didepan umum, ini sangat perlu di koreksi saya asli orang gayo lues

Unknown mengatakan...

Terima Kasih atas komentarnya, sudah Saya perbaharui. Mungkin Anda bisa berkomentar juga di salah satu sumber yang Saya gunakan di dalam tulisan ini.

Unknown mengatakan...

bagus sekali paparannya, sangat membantu. Terimakasih

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Affiliate Network Reviews