MENGENAL SUKU GAYO
BAB I
A.
Latar Belakang
Kesenian
merupakan produk budaya suatu bangsa, semakin tinggi nilai kesenian satu bangsa
maka semakin tinggi nilai budaya yang terkandung di dalamnya. Sebagai salah
satu bagian yang penting dari kebudayaan, kesenian tidak pernah lepas dari
masyarakat, sebab kesenian juga merupakan salah satu sarana untuk mewujudkan
segala bentuk ungkapan cipta, rasa dan karsa manusia.
Begitu
banyaknya orang yang masih belum mengenal suku terutama kebudayaannya.
Contohnya suku Gayo ini, masih banyak orang yang belum mengenal suku yang satu
ini. Suku yang bermayoritas di Takengon dan Gayo Lues ini adalah salah satu
suku yang terdapat di Aceh. Kadang suku Gayo kerap dikatakan juga salah satu
dari Suku Aceh ataupun Suku Karo. Padahal, tidak sama sekali. Untuk itu,
makalah ini dibuat agar dapat menambah pengetahuan masyarakat tentang sebuah
suku, terutama kebudayaan suku Gayo.
Kesenian
sebagai ungkapan kreativitas manusia akan tumbuh dan hidup apabila masyarakat
masih tetap memelihara, memberi peluang bergerak, serta menularkan dan
mengembangkan untuk kemudian menciptakan sesuatu kebudayaan baru. Sebagai
produk budaya yang melambangkan masyarakatnya maka kesenian akan terus
berhadapan dengan masyarakat dalam arti kesenian menawarkan interpretasi
tentang kehidupan, kemudian masyarakat menyambutnya dengan berbagai cara
(Yandri, 2009:158).
Kebudayaan
sering menjadi kebiasaan yang tidak boleh ditinggalkan dan dihilangkan, karena
mempunyai nilai yang begitu tinggi dalam suatu kelompok. Seperti yang
disebutkan bahwa dengan kebudayaan kita dapat mengetahui tingkat peradaban
manusia.
Begitu juga kebudayaan masyarakat Gayo ditemukan
oleh masyarakat Gayo dan dijadikan sebagai kebudayaan. Kebudayaan Gayo timbul
sejak orang Gayo bermukim di wilayah ini. Kebudayaan
Gayo sangat beragam mulai dari tarian, musik, dan teater. Tarian yang terdapat
pada masyarakat Gayo adalah tari Saman, tari guel, Tari bines, tari munalo
Didong,Tari Sining, Tari Turun Ku Aih Aunen, Tari Resam Berume, Tuak Kukur,
Melengkan dan Dabus. Unsur kebudayaan yang ada di Gayo sangat berkaitan erat
dengan Al Qur`an dan Hadist. Kehidupan masyarakat Gayo yang menjadi panutan ataupun
pedoman adalah Al Qur`an dan Hadist sehingga diterapkan didalam kebudayaan
Gayo, adat istiadat maupun sistem pemerintahannya.
Masyarakat
Gayo sangat fanatik terhadap Agama Islam, sehingga semua bersifat Theokrasi
(berdasarkan ajaran Islam), baik adat, budaya dan sistem pendidikan semua
berlandaskan Agama Islam. Menurut Mahmud Ibrahim (2007:19), sebelum Agama Islam
masuk kedaerah Gayo, masyarakat setempat sebelumnya menganut animisme. Agama
Islam masuk ke Perlak Aceh pada abad ke-8 Masehi, suku Gayo yang bermukim
disana secara berangsur-angsur mulai memeluk Agama Islam.
Suku Gayo hanya satu di permukaan bumi ini. Gayo Lues, Gayo
Alas, Gayo Laut, dan Gayo Serbejadi terjadi karena perbedaan tempat tinggal
saja. Kalau ada terdapat perbedaan di antara Gayo di atas, hal itu akibat
pengaruh lingkungan dan geografis. Bagi saya, perbedaan itu adalah
asset budaya Gayo. Jika suku Gayo bercita-cita untuk
menjadi suku yang maju dan dapat menjawab tantangan zaman adalah harus bersatu.
Tidak melihat perbedaan, tetapi lebih melihat persamaan, sehingga dapat
membangun masa depan yang gemilang. Suku Gayo menjadi suku yang harus
diperhitungkan untuk membangun bangsa dan negara Republik Indonesia yang sedang
menangis ini.
Salah satu upaya adalah menggali potensi budaya, sehingga
dapat menumbuhkan kepribadian yang utuh dan mapan. Dapat menjadi acuan atau
pedoman dalam usaha menyusun langkah dan strategi untuk menghadapi masa depan
yang cerah. Sangat sesuai dengan semangat otonomi daerah (suatu perubahan
sistem dari sentralisasi menjadi desentralisasi).
Untuk memenuhi harapan di atas, di samping harapan panitia
kongres ini, saya mencoba untuk menyusun sebuah makalah yang sangat sederhana
tentang Orientasi dan sejarah Gayo secara ringkas. Hal ini sangat menarik
karena kita selalu menghadapi persoalan dan tantangan tentang eksistenssi
kepribadian dan martabat suku Gayo di tanah tumpah darah sendiri. Makalah yang
sangat sederhana ini, dapat kiranya menjadi bahan diskusi di dalam kongres ini.
Semoga keberadaan suku Gayo dapat kita pahami secara global maupun secara
substansi, terutama oleh generasi Gayo masa kini dan mendatang.
B. Tujuan
Ø Umum
Memperoleh
gambaran mengenai suku Gayo yang bermayoritas terdapat di daerah Takengon dan
Gayo Lues.
Ø Khusus
Agar
masyarakat lebih memahami dan mengetahui bagaimana, serta gambaran mengenai
Suku Gayo serta Kebudayaannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perihal
Suku Gayo adalah suatu kelompok etnik yang mendiami dataran tinggi di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Suku Gayo mendiami tiga kabupaten yaitu Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Bener Meriah dan Kabupaten Gayo Lues. Suku Gayo juga mendiami beberapa desa di Kabupaten Aceh Tenggara, Kabupaten Aceh Tamiang, Kecamatan Beutong di Kabupaten Nagan Raya dan Kecamatan Serba Jadi di Kabuaten Aceh Timur.
B. Sejarah
Kerajaan
Lingga atau Linge (dalam bahasa gayo) di tanah Gayo, menurut M. Junus Djamil
dalam bukunya "Gajah Putih" yang diterbitkan oleh Lembaga Kebudayaan
Atjeh pada tahun 1959, Kutaraja, mengatakan bahwa sekitar pada abad ke-11
(Penahunan ini mungkin sangat relatif karena kerajaan Lamuri telah eksis
sebelum abad ini, penahunan yang lebih tepat adalah antara abad ke 2-9 M),
Kerajaan Lingga didirikan oleh orang-orang Gayo pada era pemerintahan Sultan
Machudum Johan Berdaulat Mahmud Syah dari Kerajaan Perlak. Informasi ini
diketahui dari keterangan Raja Uyem dan anaknya Raja Ranta yaitu Raja Cik
Bebesan dan dari Zainuddin yaitu dari raja-raja Kejurun Bukit yang kedua-duanya
pernah berkuasa sebagai raja di era kolonial Belanda. Raja
Lingga I, disebutkan mempunyai 4 orang anak. Yang tertua seorang wanita bernama
Empu Beru atau Datu Beru, yang lain Sebayak Lingga (Ali Syah), Meurah Johan
(Djohan Syah) dan Meurah Lingga(Malamsyah).
Sebayak Lingga kemudian merantau ke tanah Karo dan membuka
negeri di sana dia dikenal dengan Raja Lingga Sibayak. Meurah Johan mengembara
ke Aceh Besar dan mendirikan kerajaannya yang bernama Lamkrak atau Lam Oeii
atau yang dikenal dengan Lamoeri dan Lamuri atau Kesultanan Lamuri atau Lambri.
Ini berarti kesultanan Lamuri di atas didirikan oleh Meurah Johan sedangkan
Meurah Lingga tinggal di Linge, Gayo, yang selanjutnya menjadi raja Linge turun
termurun. Meurah Silu bermigrasi ke daerah Pasai dan menjadi pegawai Kesultanan
Daya di Pasai. Kesultanan Daya merupakan kesultanan syiah yang dipimpin
orang-orang Persia dan Arab. Meurah Mege sendiri dikuburkan di
Wihni Rayang di Lereng Keramil Paluh di daerah Linge, Aceh Tengah. Sampai
sekarang masih terpelihara dan dihormati oleh penduduk.
Penyebab
migrasi tidak diketahui. Akan tetapi menurut riwayat dikisahkan bahwa Raja
Lingga lebih menyayangi bungsunya Meurah Mege. Sehingga membuat anak-anaknya yang
lain lebih memilih untuk mengembara.
C.
Adat Istiadat
Setiap daerah yang ada di Indonesia
mempunyai sistem adat, begitu juga di dataran tinggi Gayo mempunyai adat sesuai
dengan kepercayaan yang di anutnya. Menurut Mahmud Ibrahim (2007:5) pada sekitar tahun 1115 M, raja (reje) Islam
kerajaan Lingga yang oleh penduduk Negeri Lingga (Negeri Lingge) disebut “petu
Merhum Mahkota Alam” untuk pertama kalinya merumuskan norma adat bersama para
ulama dan pemimpin masyarakat lainnya. Isi rumusan adat yang disusun di istana
raja Lingga (reje Lingge) Umah Adat Pitu Ruang Nenggeri Lingge oleh raja Petu
Merhum Mahkota Alam. Semua adat terdiri dari 45 pasal berbahasa Gayo dan
tulisan Jawi. Semua dibukukan sebagai lembaran aturan adat istiadat dari zaman
dahulu hingga sekarang tetap dilakasanakan pasal demi pasal dalam semua keadaan
mengenai keadatan.
Empat puluh lima pasal adat negeri
Lingga (edet Nenggeri Lingge), munatur murip sibueten sarak opat, kin penguet
ni akhlak menegah buet, menyoki belide remet, melumpeti junger, mubantah hakim,
menumpang bele,, munyugang edet i engon ku bekase (tata krama dalam sistem
bermasyarakat, untuk menjaga ahlakulkarimah, tidak membuat kekerasan atau
pemerasan, tidak mengganggu masyarakat, tidak melawan hakim untuk menutupi kesalahan,
supaya adat berjalan sesuai dengan harapan (Mahmud Ibrahim, 2007:6).
Kata kiasan adat berbicara tidak
mutlak-mutlakan, berjalan memakai tongkat, hakikat sesuatu disimpan dengan
baik, syariat dilaksanakan dengan tepat, karena hukum Islam mengenal mana yang
hak mana yang batil sementara adat membedakannya. Sesuatu yang wajib harus
dilaksanakan pada tempat dan waktunya, sebaliknya yang bukan wajib dapat
dilakukan kapan dan dimana saja.
Adat istiadat masyarakat Gayo semua unsur, mulai dari hal
yang terkecil sampai yang terbesar mempunyai aturan yang harus dipatuhi dan
dijalankan. Menurut Hakim, (1998:12-13) fungsi dari adat dan makna adat adalah:
1. Adat berasal dari bahasa arab, dengan
pengertian melakukan berbagai kebiasan-kebiasaan. Adanya adat dikarenakan
manusia hidup berkelompok-kelompok, lalu membuat berbagai keputusan disebut
peraturan, untuk mengatasi kepentingan mereka dan dipandang sebagai
undang-undang tanpa tertulis.
2. Adat Gayo bernilai spiritual dan
beriorientasi kepada ahlakulkarimah, membentuk pergaulan yang berlandaskan
agama, adat melaksanakan amar makruf nahi mungkar (salah bertegah benar
berpapah). Adat Gayo, jelas menunjang agama (pengertian agama). Perlu disimak
adat adalah habluminannas.
3. Adat adalah etos (pandangan hidup yang khas
suatu golongan sosial) masyarakat, terikat dengan : “murip ikanung edet, mate
ikanung bumi, murip benar matee suci” (hidup selalu dikandung adat, mati
dikandung bumi / tanah, hidup harus benar, mati harus suci).
4. Adat adalah aturan ciri khas dari berbagi
suku, tata kelakuan dan kebiasaan. Bagi suku Gayo adat itu: “nge mucap ku atu
mulabang ke papan” (sudah melembaga).
5. Adat adalah aturan yang berlaku
di daerah tritorial masing-masing, berfungsi laksana undang-undang.
6. Adat adalah pegangan hidup serta pedoman dalam
melaksanakan sesuatu perbuatan.
7. Adat Istiadat adalah kata kelakuan yang kekal
dan turun temurun dari generasi ke generasi
sebagai warisan sehingga kuat integrasinya dengan pola-pola perilaku
masyarakat.
Seperti kata pepatah, bahwa agama
dengan adat seperti zat dengan sifat. Dalam bahasa
berbunyi sebagai berikut:
“Edet
mugenal hukum mubeza
Kuet
edet muperala agama
Rengang
edet benasa nama
Edet
menukum musifet ujud
Ukum
munukum musifet kalam
Edet
sifetni resam, resam itinyo edet
Edet
atan astana, hukum atan agama
Dewe
hadis ulaken ku firman
Dewe
edet ulaken ku empuwe
Edet
turah berujud
Fiil
turah berupe
Semi
turah bertubuh”
“(Adat
mencari hukum dijadikan neraca
Bila
kuat adat terpeiharalah agama agama
Renggang
adat rusaklah nama
Adat
menghukum bersifat wujud
hukum
menghukum bersifat pasti
Adat
sifatnya resam, resam ditinjau adat
Sumber
adat dari istana, hukum dalam agama
Berselisih
pendapat tentang hadist kembalikan ke firman
Berselisih
pendapat tentang adat kembalikan kepada empunya (yang membuatnya Reje, petue,
ulama dan masyarakat)
Adat
harus dibuktikan
Fiil
harus mempunyai rupa
Semi
harus bertubuh (Hakim, (1998:14)
Dari
pendapat diatas dapat dijelaskan bahwa adat didalam masyarakat Gayo sangat kuat
dan harus direalisasikan, jika suatu adat menjadi keliru maka akan dikembalikan
kepada Al Qur`an dan yang membuat adat tersebut.
6. Sistem kemasyarakatan
Sistem yang ada didataran tinggi
Gayo dahulu dikenal dengan sistem kerajaan, yang dikenal dengan dinasti Lingga.
Sistem pemerintahan kerajaan / tradisional berupa unsur kepemimpinan yang
disebut sarak opat (empat unsur dalam satu ikatan terpadu), terdiri dari: raja
(Reje),Orang yang dituakan (Petue), Imam (Imem), dan rakyat (Rayat). Mahmud
Ibrahim, (2007:63) menyatakan adapun sarak opat tersebut adalah:
1. Raja (Reje:kepala pemerintahan),
musuket sifet (berfungsi memelihara keadilan di kalangan rakyatnya).
2. Ulama (Imem), muperlu sunet
(berkewajiban membimbing dan melaksanakan ajaran Agama Islam terutama yang
fardhu dan sunat yang baik).
3. Petue (orang yang dituakan dan
dipandang berilmu), musidik sasat (meneliti dan mengevaluasi keadaan rakyat /
masyarakat).
4. rakyat (Rakyat), genap mufakat
(bermusyawarah dan mufakat bagi kepentingan negeri atau seluruh masyarakat).
Reje (raja) dan Imem (ulama)
memiliki fungsi dan berperan sangat penting dalam pemerintahan, karena raja
(Reje) melaksanakan prinsip : edet mu nukum bersifet wujud (adat menjatuhkan
hukuman karena ada bukti yang jelas). Imem (ulama) melaksanakan prinsip : ukum
mu nukum bersifet kalam (hukum Islam menetapkan hukum berdasarkan firman Allah
dan Sunnah Rasulullah).
Keduanya harus serasi dan terpadu
dalam rangka mewujudkan : Agama iberet empus, edet ibarat peger (Agama seperti
kebun / tanaman, edet seperti pagar tanaman. Menurut Melalatoa dalam Zainal
Abidin, (2002:27) masyarakat Gayo sebagai mana masyarakat Aceh lainnya adalah
masyarakat yang tergolong taat menjalankan ajaran Agama Islam. Hal ini karena
adanya pemahaman ditengah-tengah masyarakat bahwa sistem budaya mereka berasal
dari dua sumber, Pertama sumber leluhur yang bermuatan pengetahuan, keyakinan
nilai, norma-norma yang kesemuanya dinyatakan edet (adat) serta kebiasaan yang
tidak mengikat yang disebut resam, Kedua sumber Agama Islam berupa Akidah,
sistem keyakinan, nilai-nilai dan kiadah-kaidah agama disebut dengan hukum.
Di samping itu suku Gayo juga mengenal prinsip-prinsip adat
yang mereka anut. Hal ini untuk meluruskan prinsip-prinsip adat yang ada,
Zainal Abidin (2002:28) menyatakan bahwa prinsip-prinsip adat tersebut meliputi
empat hal yaitu:
1. Dunie terpancang adalah harga
diri yang menyangkut hak atas wilayah
2. Nahma teraku adalah harga diri
yang menyangkut kedudukan yang sah
3. Bela mutan adalah harga diri yang
terusik karena ada anggota kelompoknya yang
disakiti atau di ganggu
4. Malu tertawan adalah harga diri
yang terusik karena kaum wanita atau kelompoknya
diganggu atau difitnah orang lain.
Masyarakat Gayo hidup dalam komuniti
kecil yang disebut kampong. Setiap kampong dikepalai oleh seorang gecik.
Kumpulan beberapa kampung disebut kemukiman, yang dipimpin oleh mukim.). Pada
masa sekarang sistem pemerintahan mengikuti sistem pemerintahan nasional. Yang
membedakan dengan daerah lain yang ada di Indonesia yaitu terdapat beberapa
buah mukim. mukim merupakan bagian dari kecamatan, dengan unsur-unsur
kepemimpinan terdiri atas: gecik, wakil gecik, imem, dan cerdik pandai yang
mewakili rakyat. Pada pemerintahan yang ada di dataran tinggi Gayo tidak
mengenal dengan sistem RT / RW yang ada hanya satu bagian yang disebut sebagai
Dusun, dipimpin kepala Dusun dan perangkatnya.
D.
Bahasa Gayo
Salah
satu dampak dari pesebaran yang terjadi yaitu adanya variasi dialek pada bahasa
Gayo. Meski demikian, perbedaan tersebut tidak memengaruhi penutur bahasa Gayo
dalam berkomunikasi satu sama lain. Pengaruh dari luar yaitu bahasa di luar
bahasa Gayo turut memengaruhi variasi dialek tersebut. Perbedaan tersebut tidak
hanya pada aspek fonologi tetapi juga pada kosakata yang digunakan. Namun,
untuk yang kedua (kosa kata) tidak menunjukan pengaruh yang begitu besar.
Sebagai contoh, bahasa Gayo yang ada di Lokop, sedikit berbeda dengan bahasa
Gayo yang ada di Gayo Kalul, Gayo Lut, Linge dan Gayo Lues. Hal tersebut
disebabkan karena pengaruh bahasa Aceh yang lebih dominan di Aceh Timur. Begitu
juga halnya dengan Gayo Kalul, di Aceh Tamiang, sedikit banyak terdapat
pengaruh Melayu karena lebih dekat ke Sumatera Utara. Kemudian, Gayo Lues lebih
dipengaruhi oleh bahasa Alas dan bahasa Karo karena interaksi yang lebih banyak
dengan kedua suku tersebut lebih-lebih komunitas Gayo yang ada di kabupaten
Aceh Tenggara.
Dalam
hal dialek yang ada pada suku Gayo, M.J. Melalatoa membagi dialek Gayo Lut
terdiri dari sub-dialek Gayo Lut dan Deret; sedangkan Bukit dan Cik merupakan
sub-subdialek. Demikian pula dengan dialek Gayo Lues terdiri dari sub-dialek
Gayo Lues dan Serbejadi. Sub-dialek Serbejadi sendiri meliputi sub-sub dialek
Serbejadi dan Lukup (1981:53). Sementara Baihaqi Ak., dkk menyebut jumlah
dialek bahasa Gayo sesuai dengan persebaran suku Gayo tadi (Gayo Lut, Deret,
Gayo Lues, Lokop/Serbejadi dan Kalul). Namun demikian, dialek Gayo Lues, Gayo
Lut, Gayo Lukup/Serbejadi dan Gayo Deret dapat dikatakan sama atau amat
berdekatan. Di Gayo Lut sendiri terdapat dua dialek yang disana dinamakan
dialek Bukit dan Cik (1981:1).
Dalam
bahasa Gayo, kita juga mengenal tingkat kesopanan yang ditunjukan dengan tutur
(memanggil seseorang) dengan panggilan yang berbeda. Hal tersebut menunjukan
tata krama, sopan santun, rasa hormat, penghargaan dan kasih sayang. Kepada
orang tua, misalnya, akan memiliki tutur yang berbeda dengan anak-anak. Dapat
kita contohkan, pemakaian ko dan kam, yang keduanya berarti kamu (anda)
Panggilan ko biasa digunakan dari orang tua dan/atau lebih tua kepada yang
lebih muda, sebaliknya, terasa janggal atau tidak sopan bila yang muda
menggunakan kata ini kepada orang yang lebih tua. Kata kam sendiri lebih sopan
dibandingkan dengan ko. Selain itu, kam ini menunjukan makna jamak dan panggilan
intim antara suami istri. Tambahan pula, bahasa Gayo Lut dinilai lebih sopan
dan halus dibandingkan dengan bahasa Gayo lainnya.
Contoh percakapan dalam bahasa Gayo
(Perkenalan)
Sa Geral ni Kam = Sapa nama Kamu
Geralku Sejuk = Nama saya Sejuk
sana këber? = Apa kabar?
Këber jeroh = Kabar baik
Nge ke mangan? = Sudah makan?
Gëre ilen = Belum
E. Sistem Pemerintahan
Masyarakat
Gayo hidup dalam komuniti kecil yang disebut kampong. Setiap kampong dikepalai
oleh seorang gecik. Kumpulan beberapa kampung disebut kemukiman, yang dipimpin
oleh mukim. Sistem pemerintahan tradisional berupa unsur kepemimpinan yang
disebut sarak opat, terdiri dari:
Ø Reje =
Yang Mulia / Raja
Ø Petue =
Totem / Tetua
Ø Imem =
Imam / Ahli Agama
Ø Rayat =
Rakyat / Masyarakat biasa
Pada
masa sekarang beberapa buah kemukiman merupakan bagian dari kecamatan, dengan
unsur-unsur kepemimpinan terdiri atas: gecik, wakil gecik, imem, dan cerdik
pandai yang mewakili rakyat.
Sebuah
kampoeng biasanya dihuni oleh beberapa kelompok klen (belah). Anggota-anggota
suatu belah merasa berasal dari satu nenek moyang, masih saling mengenal, dan
mengembangkan hubungan tetap dalam berbagai upacara adat. Garis keturunan
ditarik berdasarkan prinsip patrilineal. Sistem perkawinan yang berlaku
berdasarkan tradisi adalah eksogami belah, dengan adat menetap sesudah nikah
yang patrilokal (juelen) atau matrilokal (angkap).
Kelompok
kekerabatan terkecil disebut saraine (keluarga inti). Kesatuan beberapa
keluarga inti disebut sara dapur. Pada masa lalu beberapa sara dapur tinggal
bersama dalam sebuah rumah panjang, sehingga disebut sara umah. Beberapa buah
rumah panjang bergabung ke dalam satu belah (klen). Pada masa sekarang banyak
keluarga inti yang mendiami rumah sendiri. Pada masa lalu orang Gayo terutama
mengembangkan matapencaharian bertani di sawah dan beternak, dengan adat
istiadat matapencaharian yang rumit. Selain itu ada penduduk yang berkebun,
menangkap ikan, dan meramu hasil hutan. Mereka juga mengembangkan kerajinan
membuat keramik, menganyam, dan menenun. Kini matapencaharian yang dominan
adalah berkebun, terutama tanaman kopi. Kerajinan membuat keramik dan anyaman
pernah terancam punah, namun dengan dijadikannya daerah ini sebagai salah satu
daerah tujuan wisata di Aceh.
F. Mata Pencaharian
Mata pencarian utama adalah bertani dan berkebun
dengan hasil utamanya kopi. Mereka juga mengembangkan kerajinan membuat
keramik, menganyam, dan menenun. Kerajinan lain yang cukup mendapat perhatian
adalah kerajinan membuat sulaman kerawang Gayo, dengan motif yang khas.
Munangin
- Seorang wanita Gayo sedang menganginkan padi di persawahan Kampung Genuren,
Kecamatan Bintang, Aceh Tengah. Membersihkan padi dengan tiupan angin.
Munejes
- Sejumlah gadis Gayo (Beberu) Kampung Mendale, Kecamatan Kebayakan, Aceh
Tengah sedang membersihkan bulir-bulir padi dari tangkainya.
G. Seni Budaya
Suatu
unsur budaya yang tidak pernah lesu di kalangan masyarakat Gayo adalah
kesenian, yang hampir tidak pernah mengalami kemandekan bahkan cenderung
berkembang. Bentuk kesenian Gayo yang terkenal, antara lain tari saman dan seni
bertutur yang disebut didong. Selain untuk hiburan dan rekreasi, bentuk-bentuk
kesenian ini mempunyai fungsi ritual, pendidikan, penerangan, sekaligus sebagai
sarana untuk mempertahankan keseimbangan dan struktur sosial masyarakat. Di
samping itu ada pula bentuk kesenian Seperti: Tari bines, Tari Guel, Tari munalu, sebuku (pepongoten), guru didong, dan melengkan (seni berpidato
berdasarkan adat), yang juga tidak terlupakan dari masa ke masa, Karena Orang
Gayo kaya akan seni budaya.
Dalam
seluruh segi kehidupan, orang Gayo memiliki dan membudayakan sejumlah nilai
budaya sebagai acuan tingkah laku untuk mencapai ketertiban, disiplin,
kesetiakawanan, gotong royong, dan rajin (mutentu). Pengalaman nilai budaya ini
dipacu oleh suatu nilai yang disebut bersikemelen, yaitu persaingan yang mewujudkan
suatu nilai dasar mengenai harga diri (mukemel). Nilai-nilai ini diwujudkan
dalam berbagai aspek kehidupan, seperti dalam bidang ekonomi, kesenian,
kekerabatan, dan pendidikan. Sumber dari nilai-nilai tersebut adalah agama
Islam serta adat setempat yang dianut oleh seluruh masyarakat Gayo.
Berikut nama-nama kesenian yang ada di suku Gayo :
Ø Didong
Ada banyak kesenian adat suku Gayo,
salah satunya adalah Didong, yaitu suatu kesenian yang memadukan unsur tari,
vokal, dan sastra. Didong dimulai sejak zaman Reze Linge XIII. Kesenian ini
diperkenalkan pertama kali oleh Abdul Kadir To’et. Ada yang berpendapat bahwa
kata “didong“ mendekati pengertian kata “denang“ atau “donang” yang artinya
“nyanyian sambil bekerja atau untuk menghibur hati atau bersama-sama dengan
bunyi -bunyian”. Dan ada pula yang berpendapat bahwa Didong berasal dari kata
“din” dan “dong”. “din” berarti agama dan “dong” berarti dakwah. Pada awalnya
didong digunakan sebagai sarana bagi penyebaran agama islam melalui media
syair. Para ceh didong (seniman didong) tidak semata-menyampaikan tutur kepada
penonton yang dibalut dengan nilai-nilai estetika, melainkan didalamnya
bertujuan agar masyarakat pendengarnya dapat memaknai hidup sesuai dengan
realitas akan kehidupan para Nabi dan tokoh yang seuai dengan Islam. Dalam
Didong ada nilai-nilai religius, nilai-nilai keindahan, nilai-nilai kebersamaan
dan lain sebagainya. Jadi, dalam ber-didong para ceh tidak hanya dituntut untuk
mampu mengenal cerita-cerita religius tetapi juga bersyair, memiliki suara yang
merdu serta berprilaku baik. Kesimpulanya, seorang ceh adalah seorang seniman sejati
yang memiliki kelebihandisegala aspek yang berkaitan dengan fungsinya untuk
menyebarkan ajaran Islam. Didong waktu itu selalu dipentaskan pada hari-hari
besar Agama Islam.
Ø Didong
Niet
Ø Tuak Kukur
Ø Melengkan
Ø Dabus
Ø Tari Bines
Ø Tari
Guel
Ø Tari Munalo
Gambar di bawah ini sejumlah Beberu (Gadis-Gadis)
Gayo sedang menggerakkan Tarian Munalo pada suatu acara perwakinan (Mungerje)
di Takengon, Kabupaten Aceh Tengah. Tari Munalo merupakan tarian khas masyarakat
Gayo yang ditampilkan pada saat menerima tamu-tamu penting.
Ø Tari
Sining
Ø Tari Turun
Ku Aih Aunen
Ø Tari Resam
Berume
Ø Tari Saman
Tarian ini mencerminkan budaya Gayo yang sangat kuat menganut agamanya dari gerak dan lirik lagu yang diucapkan oleh
para penarinya. Jumlah tari Saman selalu
ganjil dan pada awalnya tarian ini hanya dilakukan oleh laki-laki. Tari Saman dilakukan dalam
formasi duduk berjejer rapat disertai gerakan dinamis tangan dan kepala dan diikuti gerakan membungkuk sesekali. Gerakan tari Saman
yang sederhana dan dinamisinilah yang digemari oleh para penikmat seni. Masyarakat Gayo
hidup dalam kelompok kecil yang disebut
kampong. Sebuah kampung dihuni oleh beberapa kelompok clan berdasarkan prinsip patrilineal. Bentuk kesenian Gayo
sendiri menjadi daya tarik tersendiri
sehingga anda tidak hanya dapat menikmati Tari Saman tapi juga kesenian didong yang menggabungkan hiburan, rekreasi
dan seni.
Gambar: Tari
Saman oleh Pria
Berikut
dibawah ini beberapa kesenian musik suku Gayo :
-
Canang
Gayo
Canang Gayo merupkan alat musik tradisional mirip
gong yang dibunyikan dengan cara dipukul berirama. Canang Gayo dimainkan pada
acara perkawinan (Mungerje) dan upacara adat lainnya. Sejumlah wanita Gayo
sedang memukul Canang di Kampung Serule, Kecamatan Bintang, Kabupaten Aceh
Tengah.
-
Musik
Teganing
Alat Teganing merupakan alat musik pukul berasal
dari Suku Gayo, Kabupaten Aceh Tengah. Alat musik tradisional ini terbuat dari
bambu dimainkan dengan cara memukul pada tali senarnya secara berirama.
Bunyi-bunyian alat musik perkusi ini biasanya diringi dengan alunan suara
Didong (Seni Tutur Bahasa Gayo) dan Jangen Gayo.
H. Masakan Khas
Ø Masam
Jaeng
Ø Gutel
Ø Lepat
Lepat memang banyak ditemui di tiap
kuliner nusantara ini. Contohnya di Suku gayo, mereka mengenal Lepat. Sedangkan
suku Batak Toba mengenalnya dengan nama Lapet, sedangkan di Suku Jawa dikenal
dengan nama Lemet. Banyak istilah, tetap sama jenis makanannya.
Ø Pulut
Bekuah
Ø Cecah
Ø Pengat
I. Acara
Adat Pernikahan
Tradisi pembasuhan kaki
pengantin pria dalam perkawinan masyarakat Gayo Tidak dilakukan oleh pengantin
wanita, tetapi oleh adik perempuan pengantin wanita. Secara garis besar,
kebudayaan Gayo, terdiri dari beberapa unsur yaitu kebudayaan Gayo Lues, yang
berpusat disekitar Aceh Tenggara, kebudayaan Gayo Serbejadi di kawasan Aceh
Timur, kebudayaan Gayo Linge dan kebudayaan Lut di Aceh Tengah. Setiap
unsur kebudayaan dari tiap suku bangsa tersebut tentu saja memiliki keunikan
dan kekayaan tradisi masing – masing dimana di dalamnya juga terkandung nilai –
nilai luhur untuk kemuliaan hidup. Tak terkecuali kebudayaan masyarakat Gayo
yang berada di sekitar kawasan Takengon Aceh Tengah ( Gayo Lut ) saat
mempersiapkan sebuah hajat besar seperti upacara perkawinan yang harus melewati
beberapa tahapan adat, yang tiap tahapannya tersimpan makna yang sakral untuk
kebahagiaan hidup rumah tangga pasangan pengantin. Berikut adalah beberapa tahapan
singkat prosesi upacara perkawinan
masyarakat suku gayo :
·
Risik Kono (
Perkenalan Keluarga )
Acara ini merupakan
ajang perkenalan keluarga calon pengantin. Orang tua pengantin pria, biasanya
di wakilkan oleh ibunya, akan menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan mereka
untuk berbesan dengan orang tua pengantin wanita. Biasanya acara akan di mulai
dengan ramah tamah serta senda gurau sebagai awal perkenalan dan barulah
selanjutnya mengarah pada pembicaraan seriuz mengenai kemungkinan kedua keluarga
ini bisa saling berbesan.
·
Munginte (
Meminang / Melamar )
Tahapan peminangan ini
tidak dilakukan oleh orang tua pengantin pria secara langsung tetapi diwakilkan
oleh utusan yang disebut telangkai atau telangke. Biasanya mereka terdiri dari
tiga atau lima pasang suami – istri yang masih berkerabat dekat dengan orang
tua pengantin pria.
Dalam acara ini yang banyak berperan adalah kaum ibu. Mereka datang sambil
membawa bawaan yang antara lain berisi beras, tempat sirih lengkap dengan
isinya, sejumlah uang, jarum dan benang. Barang bawaan ini disebut Penampong ni
kuyu yang bermakna sebagai tanda pengikat agar keluarga pengantin wanita tidak
menerima lamaran dari pihak lain.
Selanjutnya barang
bawaan ini diserahkan dan ditinggal di rumah pengantin wanita sampai ada
kepastian bahwa lamaran tersebut diterima atau tidak. Keluarga pengantin wanita
diberi waktu sekitar 2-3 hari untuk memutuskan hal tersebut. Dalam waktu
tersebut biasanya keluarga pengantin wanita akan mencari sebanyak mungkin
tentang informasi calon pengantin pria mulai dari bagaimana pribadinya,
pendidikannya, agama, tingkah laku samapi ke soal bibit, bobot dan bebetnya.
Jika lamaran diterima maka barang bawaan tersebut tidak dikembalikan lagi
tetapi sebaliknya jika tidak, maka Penampong kayu akan dikembalikan pada
pengantin pria lagi.
Setelah mendapat
kepastian lamaran diterima selanjutnya akan dilakukan pembicaraan antara dua
pihak keluarga mengenai kewajiban apa saja yang harus dipenuhi oleh keluarga
masing – masing, termasuk membicarakan mengenai barang dan jumlah uang yang
diminta oleh keluarga penganti wanita yang disebut sebagai acara Muno sah nemah
( Menetapkan bawaan ), Dalam pembicaraan ini keluarga pengantin pria akan diwakili oleh talangke yang
harus pandai melakukan tawar menawar atau negosiasi dengan keluarga pengantin
wanita. Sementara untuk mahar yang menentuakan adalah calon mempelai wanita
sendiri dan mahar yang diminta tidak boleh ditawar lagi.
Turun Caram ( Mengantar Uang )
Acara mengantar uang
ini biasa dilakukan pada saat matahari mulai naik antara pukul 09.00 – 12.00
dengan harapan agar nantinya kehidupan rumah tangga pasangan pengantin ini,
termasuk rezekinya akan selamanya bersinar.
Segenap dan Begenap ( Musyawarah dan Keluarga )
Dalam acara ini akan
dilakukan pembagian tugas saat acara pernikahan berlangsung. Yang mendapat
tugas melakukan berbagai persiapan pesta perkawinan adalah para kerabat serta
tetangga dekat. Acara akan berlangsung pada malam hari.
Pada malam begenap
acara akan dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok orang tua yang akan
membicarakan mengenai tata cara serah terima calon pengantin kepada Imam (
Pemuka Agama ) sementara kelompok kedua yaitu para muda – mudi yang berkelompok
membuat kue onde – onde untuk disantap bersama – sama. Setelah itu datanglah
utusan dari kelompok orang tua ke kelompok anak muda tersebut sambil membawa
batil ( cerana ) lalu mereka makan sirih bersama sebagai tanda permintaan orang
tua pengantin wanita agar muda mudi itu rela melepas salah satu teman mereka
untuk menikah.
Beguru ( Pemberian Nasihat )
Acara ini didiadakan
sesudah acara malam begenap yaitu pada pagi hari sesudah salat subuh. Beguru
artinya belajar, dimana calon pengantin akan diberi berbagai nasehat dan
petunjuk tentang bagaimana nantinya mereka bersikap dan berprilaku dalam
membina rumah tangga. Acara beguru di rumah calon mempelai wanita ini biasanya
akan diiringi juga dengan acara bersebuku ( meretap ) yaitu pengantin wanita
melakukan sungkeman kapada kedua orang tuanya untuk memohaon restu dan doa.
Jege Uce ( Berjaga – jaga )
Acara ini dilaksanakan
menjelang hari pernikahan. Disini para kerabat dan tetangga dekat akan berjaga
– jaga sepanjang malam dengan melakukan berbagai kegiatan adat seperti acara
guru didong ( berbalas pantun ) serta tari tarian. Pada malam itu calon
pengantin wanita akan diberi inai oleh pihak ralik ( keluarga pengantin wanita
).
Belulut dan Bekune ( Mandi dan Kerikan )
Dahi, pipi dan tengkuk
calon pengantin wanita akan dikerik oleh juru rias atau wakil keluarga ibunya
yang paling dekat setelah sebelumnya dilakukan acara mandi bersama di kediaman
masing – masing yang disebuat acara belulut. Bekas bulu – bulu halus kerikan
tadi selanjutnya akan ditaruh dalam sebuah wadah berisi air bersih dan
dicampurkan dengan irisan jeruk purut untuk ditanam. Dipercayai nantinya rambut
pengantin akan tumbuh subur dan lebat.
Munalo ( Menjemput Pengantin Pria )
Pada hari dan tempat
yang telah disepakati rombongan pengantin wanita yang dipimpin oleh telangkai,
selanjutnya disebut sebagai pihak beru, sambil menabuh canang yang dilakukan
oleh para gadis bersiap menunggu kedatangan rombongan penantin pria yang
disebut pihak bei. Sementara itu pengantin wanita di rumahnya telah didandani
dan menanti dalam kamar pengantin. Canang akan semakin keras ditabuh dan
terdengar bersahutan ketika pihak bei sudah mulai kelihatan dari kejauhan.
Saat pihak bei telah
tiba, tabuhan canang dihentikan dan pihak beru akan membuka percakapan sebagai
ucapan selamat datang dan permohonan maaf jika terdapat kekurangan dalam acara
penyambutan tersebut. Setelah itu dilakukan tarian guel dan sining serta saling
berpantun. Disini pengantin pria akan diajak ikut menari bersama. Setelah itu
calon pengantin pria diarak beramai ramai menuju kediaman pengantin wanita.
Mah Bei ( Mengarak Pengantin Pria )
Sebelum rombongan
pengantin pria sampai ke rumah pengantin wanita, mereka akan terlebih dahulu
berhenti di rumah persinggahan yang disebut Umah selangan selama 30 – 60 menit.
Ditempat ini rombongan akan menanti datangnya kiriman makanan yang dibawa oleh
utusan pihak beru. Bila kiriman itu dianggap berkenan maka rombongan akan
melanjutkan perjalanan menuju rumah pengantin wanita, setelah mendengar kabar
bahwa kelurga pengantin wanita telah siap menerima kedatangan. Sebaliknya bla
tidak berkenan maka acara bisa tertunda bahkan batal. Dalam perjalanan ini,
pengantin pria diapit telangkai yang bisanya terdirri dari dua orang laki –
laki yang sudah menikah. Pada acara ini orang tua mempelai pria boleh tidak
mendampingi karena tugas tersebut telah diwakilkan.
Setibanya rombongan bei
di rumah pengantin wanita, tiga orang ibu akan langsung datang menyambut dan
saling bertukar batil tempat sirih lalu diadakan acara basuh kidding ( cuci
kaki ) di depan pintu masuk. Uniknya yang melakukan acara basuh kidding ini
adalah adik perempuan pengantin wanita. Jika pengantin wanita tidak memiliki
adik perempuan maka tugas ini bisa digantikan oleh anak pakciknya. Setelah itu
sebagai tanda terima kasih, pengantin pria akan memberikan sejumlah uang kepada
adik pengantin wanita tersebut.
Selanjutnya pengantin
pria akan melakukan acara tepung tawar yang dilakukan oleh keluarga pengantin
wanita. Sambil dibimbing masuk rumah, pengantin pria akan diserahkan oleh
keluarganya dan didudukkan berhadapan dengan ayah pengantin wanita untuk acara
akad nikah yang disebut acara Rempele ( Penyerahan ).
Sebelum akad nikah
dimulai telah disiapkan satu gelas air putih, satu wadah kosong dan sepiring
ketan kunung untuk melakukan tata acara adat. Selesai akad pengantin pria
memberikan S apBatil Mangas kepada mertua laki – lakinya. Selama akad
berlangsung pengantn wanita yang telah didandani tetap tinggal di dalam kamar
sambil menunggu dipertemukan dengan suaminya. Acara inilah yang disebut kamar
dalem.
Munenes ( Ngunduh Mantu )
Acara ini sebagai
simbol perpisahan antara pengantin wanita dengan orang tuanya karena telah
bersuami dan akan berpisah tempat tnggal, termasuk juga sebagai acara
perpisahan di masa lajang ke kehidupan berkeluarga. Pengantin wanita akan
diantar ke rumah pengantin pria sambil membawa barang – barangnya dari
peralatan rumah tangga sampai bekal memulai hidup baru. Setelah itu diadakan
acara makan bersama. Biasanya setelah tujuh hari pengantin wanita berada di
rumah pengantin pria, orang tua pengantin pria akan dating ke rumah besannya
sambil membawa nasi beserta lauk pauk. Acara yang disebut Mah Kero Opat Ingi
ini bertujuan untuk lebih saling mengenal antar dua keluarga yang sudah bebesan.
J. Busana Adat
Di masa silam orang Gayo pernah mengenal bahasa busana dari kulit kayu nanit, hasil tenunan sendiri dari bahan kapas, dan bahan kain yang didatangkan dari luar daerah Gayo. Periode pemakaian nanit sudah dari ingatan orang sekarang, yang konon dipakai pada masa-masa sulit di zaman kolonial Belanda atau masa sebelumnya. Kegiatan bertenun pun sudah lama tak tampak dalam kehidupan mereka, kecuali pada masa pendudukan balatentara Jepang dimana kehidupan serba sulit. Busana yang diperkenalkan disini dibatasi pada busana sub klompok Gayo Lut yang berdiam di Kabupaten Aceh Tengah. Uraian tentang busana atau pakaian ini termasuk unsur perhiasan atau assesorisnya yang dikenakan dalam rangka upacara perkawinan, karena diluar diluar upacara itu tidak tampak. Adanya ciri busana Khas Gayo, lebi-lebih pada zaman masa belakangan ini.
Unsur-unsur pakaian pengantin wanita adalah baju, kain sarung pawak, dan ikat pinggang ketawak. Unsur-unsur perhiasan adalah mahkota sunting, sanggul sempol gampang, cemara, lelayang yang menggantung dibawah sanggul, ilung-ilung, anting-anting subang gener clan subang ilang, yang semuanya itu ada di seputar kepala. Dibagian leher tergantung kalung tangang terbuat dari perak atau uang perak tangang ringgit dan tangang birah-mani, clan belgong yang merupakan untaian manik-manik. kedua lengan sampai ujung jari dihiasi dengan bermacam-macam gelang seperti ikel, gelang iok, gelang puntu, gelang berapit, gelang bulet, gelang beramur, topong, dan beberapa macam cincin sensim belah keramil, sensim genta, sensim patah paku, sensim belilit, sensim keselan, sensim kui. Bagian pinggang selain ikat pinggang dari kain katawak, masih ada tali pingang berupa rantai genit rante, clan dibagian pergelangan kaki ada gelang kaki. Unsur busana lain yang sangat penting adalah upuh ulen-ulen selendang dengan ukuran relatif lebar.
Berikut beberapa Pakaian dan Kerajinan dengan Motif khas suku Gayo :
( Gambar: Kiri Atas : Kain Adat, Kanan Atas: Pakaian Pengantin wanita, Kiri Bawah : Kerajinan Tas Wanita )
K. Rumah
Adat
Rumah
tua Umah Edet Pitu Ruang (Rumah Adat Tujuh Ruang) bukti sejarah orang Gayo
tersebut letaknya di sebuah kampung pinggiran Danau Lut
Tawar tepatnya di Kampung Toweren, Kecamatan Laut Tawar Aceh Tengah,
rumah itu adalah bukti sejarah yang masih ada di Dataran Tinggi Gayo yang
benar-benar asli peninggalan tidak seperti rumah adat di Linge dan Mess Pitu
Ruang di Kampung Kemili Takengon yang hanya copyan dari bentuk aslinya.
Luas
Umah Edet Pitu Ruang itu, panjangnya 9 meter dengan lebar 12 meter. Berbentuk
rumah panggung dengan lima anak tangga, menghadap utara. Sementara di dalamnya
terdapat empat buah kamar. Selain empat kamar, ada dua lepo atau ruang bebas di
arah timur dan barat. Di dinding luar rumah dihiasi atau dipercantik dengan
ukiran-ukiran khas masyarakat suku Gayo yang disebut Kerawang, awalnya adalah
ukiran pada rumah Adat Gayo "Pitu Ruang", yang kemudian
motifnyadiadopsi kedalam barang-barang kerajinan khas Gayo. Bordir Kerawang
memiliki corak yang khas, dimana mempunyai makna filosofi yang dalam dari
setiap ukiran dan bentuknya.
Bordir
Kerawang Gayo ini sering dipakai untuk hiasan dinding, alas meja, motif pakaian
, tas dan lain sebagainya. Motif Kerawang Gayo tidak hanya diminati masyarakat
lokal saja, namun daerah Aceh lainnya juga banyak mencari motif ini.
Berikut
dibawah ini adalah gambar rumah adat suku Gayo :
(Gambar:
2 Rumah Umah Edet Pitu Ruang)
L. Ilmu Pengetahuan
Sistem
dalam masyakat Gayo dahulu mengenal beberapa teknologi yang manual, seperti
dalam bertani, masyarakat mengunakan tenaga kuda, kerbau dalam mengarap sawah.
Begitu juga dengan yang lain seperti kerajinan, yaitu seni arsitektur, seni
ukir, sulaman, anyaman, dan seni keramik. Dahulu masyarakat selalu mengunakan
peralatan tradisonal.
Perkembangan zaman yang semakin canggih tidak
mengurangi keinginan untuk mengikuti tantangan zaman. Yaitu masyarakat sudah
beralih mengunakan alat yang lebih modern untuk mengembangkan penghidupan dan
kesejahteraan. Para petani yang
dahulu mengunakan tenaga kuda / kerbau beralih mengunakan mesin traktor untuk
mengarap sawah, para pengrajin dari alat manual beralih ke alat modern.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Bahwa
Banyak hal tentang suku Gayo yang perlu kita pelajari semua. Dari bahasa, rumah
adat, kesenian, tarian dan lain sebagainya. Masyarakat
tidak pernah lepas dari lingkungan budaya, karena masyarakat Gayo selalu
menjunjung tinggi nilai-nilai budayanya. Sistem dalam masyarakat Gayo mengenal
sistem pemerintahan, adat istiadat, teknologi, budaya, bahasa dan religiusitas.
Semua itu merupakan sistem yang ada di dataran tinggi Gayo. Pemerintahan masyarakat Gayo zaman dahulu dikenal
dengan Sarak Opat (empat unsur dalam satu ikatan terpadu). Adapaun perangkatnya
yaitu; raja, imam, petue dan masyarakat. Lembaga ini yang selalu mengurus dan
membina masyarakat demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat dataran tinggi
Gayo.
Peralihan
dari sistem kerajaan merupakan sebuah revolusi yang terjadi di dataran tinggi
Gayo, walaupun perubahan yang terjadi tetapi nilai adat dan nilai budaya tidak
pernah lepas dari kehidupan masyarakat dataran tinggi Gayo. Nilai adat, budaya
selalu menjadi pedoman dalam kehidupan sehari-hari
B.
Saran
Saran
Anda untuk Saya sangat membangun diri Saya pribadi untuk merangkum informasi –
informasi atau ilmu dibidang apapun secara lebih rapih susunanya hingga mudah
di mengerti dan lain sebagainya. Semoga rangkuman ini dapat bermanfaat bagi
Anda yang sudah membacanya. Saya ucapkan, Terima kasih
Daftar Pustaka
Internet
:
Books
:
Yandri.
2009. Pengaruh Budaya Global dalam Lokalitas Budaya Tradisi. Institut Seni
Indonesia Yogyakarta. Sebuah makalah.
Ibrahim,
Mahmud.2007. Mujahid Dataran Tinggi Gayo. Takengon: Yayasan Maqamamahmuda
Takengon.
Abidin, Zainal. 2002. Makna Simbolik Warna dan Motif Kerawang
Gayo pada Pakaian Adat Masyarakat Gayo. Yogyakarta. Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Yogyakarta.
Hakim, AR. 1998. Hakikat nilai-nilai budaya Gayo. Takengon :
Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Tengah